Disusun oleh : Anik Rachmawati,SP.MMA
Agen Pengenali Hayati yaitu semua organisme yang dalam tahap perkembangannya dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyaki, sementara Pengendalian Hayati adalah pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) oleh musuh alami (Agens pengendali hayati). Keuntungan dari pengendalian secara hayati yaitu selektifitas tinggi, hama tidak menjadi resisten atau kalau hal itu terjadi sangat lambat, serta tidak ada pengruh samping yang buruk seperti pada penggunaan pestisida. Dan beberapa kelemahan pengendalian hayati yaitu pegendalian berjalan lambat, tidak dapat diramalkan, dan memrlukan pengawasan yang ketat. Saat kita menggunakan agen hayati di lahan, kita harus berfikir bahwa kita menggunakan mahluk hidup dalam pengendalian hama penyakit / OPT, sehingga sebaiknya kita tidak menggunakan pestisida kimia karena hal itu akan membunuh agens hayati yang nota bene-nya adalah mahluk hidup, sebaliknya kita harus mengusakan hal-hal yang bisa mendukung perkembangbiakan agens hayati tersebut.
Beberapa jenis agens hayati yang dikembangkan di laboratorium-laboratorium di wilayah BPTPH Jatim yaitu:
PARASITOID Telur Trichogrammatoidea bactrae-bactrae untuk pengendalian hama penggerek polong Etiella zinkcinella.
Perbanyakan masal:
• Digunakan inang pengganti, yaitu berupa telur Corcyra cephalonica yang sudah di mandulkan.
• Telur-telur ini kemudian diletakkan pada pias-pias yang selanjutnya ditulasrkan dengan telur-telur yang berisi parasitoid T. bactre-bactrae
• Telur yang tel;ah terparasit akan berwarna hitam da telah siap untuk dilepas di lahan.
Pelepasan
• Dosis pelepasan: 100 pias/ha,di lepas 8 tahap dengan interval 1 minggu. pelepasan pertama 16 pias/ha, pelepasan berikutnya 12 pias/ha/minggu. jarak pelepasan antar pias 25-30 m, dan dilakukan secara merata.
• Waktu pelepasan di pagi hari atau sore hari, satu harimenjelang imago T. bactrae-bactrae keluar dari inang yang terparasi (siklus T. bactre-bactrae dari telur diletakkan hingga munculnya imago sekitar 8 hari). Upayakan pelepasan parasitoid sejalan dengan awal periode peletakan telur hama sasaran.
• Cara pemaangan yaitu dengan menyelipkan pias pada ketiak daun pucuk dengan bagian telur menghadap keatas. apabila diperkirakan akan turun hujan, pias dipasang secara tertelungkup. Selain itu, pemasangan pias dapat pula dilakukan dengan mengguanakan sutas tali yang teleh diolesi dengan lem/perekat untuk menghindari dari pemangsaan predator.
PATOGEN
Cendawan Beauveria bassiana dan metarhizium anisopliae untuk penegendalian wereng batang coklat, walang sangit dll.
Koloni cendawan B. bassiana berwarna putih seperti kapur sedangkan M. anisopliae berwarna hijau tua.
Perbanyakan masal
• cendawan patogen ditumbuhkan di media padat dari jagung, beras atau campuran jagung/beras dengan dedak yang telah di sterilkan.
• Miselium cendawan akan memenuhi kantung media padat ukuran 100 gr dalam waktu 3-4 minggu.
Aplikasi
• Dosis: Jumalah spora cendawan yang efektif untuk aplikasidilapangan ialah 10 pngkat 6 spora/ml larutan, atau 10 pangkat 6 spora/g media padat.
• Kebutuhan media padat untuk 1 tanki ukuran 14 lt yaitu 100 gr/tanki atau 3 kg media padat/ha.
• Waktu aplikasi pagi atau sore hari
Cendawan Antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.
Untuk mengedalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh cendawan fusarium spp
. phytophtoraspp. atau Rhizoctonia spp. Mekanisme antagonis Trichoderma spp. dan Gliocladium spp. terhadap Fusarium spp. adalah menghambat sedangkan pada cendawan tanah yang lainnya adalah mematikan. Koloni cendawan trichoderma spp. berwarna hijau tua sedangkan gliocladium spp berwaarna hijau muda. Pemanfaatan cendawan ini akan lebih efektif bila dilakukan di persemaian (merupakan tidakan pecegahan)
Perbanyakan Masal
• Untuk starter (biakan induk) cendawan antagonis ditumbuhkan pada media padat jagung atau serbuk gergaji kayu
• Perbanyakan masal cendawan ini digunakan dalam bentuk kompos.
• kompos trichoderma/gliocladium terdiri dari: 1meter kubik Jerami/serbuk gergaji; 250 gr urea; Superphos (SP36) 500 gr; Kapur pertanian 300 gr, Pupuk kandang 50 gr dan biakan induk trichoderma/gliocladim 300 gr.
• Campuran bahan-bahan ini ditumpuk menjadi menjadi 4 lapisan, kemudian dikomposkan selama 20 hari dan pembalikan dilakukan pada hari ke 12.
Aplikasi
Dosis: 5 gr kompospertanaman tomat atau cabai/ semangka dll. atau 100 gr kompos per runpin pisang,dan diberikan pada pagi hari atau sore hari.
Nuclear Polyhidrosis Virus (NPV)
Sl-NPV (Spodoptera litura-Nuclear polyhidrosis Virus) adalah virus yang digunakan untuk membasmi ulat grayak (spodotera litura) yang ada pada tomat, cabai,kedelai bawang, merah dll)
Perbanyakan Masal
• Pemeliharaan inang berupa S. litura.
• Pakan ulat grayak (instar 3 atau 4) diolesi dengan suspensi SlNPV (cukup satukali perlakuan), suspensi ini dibuat dengan cara melumat seekor ulat instar 4 yang mati terinfeksi SlNPV dengan 10 ml (2 sendok makan) air. Ulat selanjutnya dipelihara sampai mati. (pemberian pakan yang diolesi suspensi SlNPV hanya 1 kali selanjutnya diberi makanan biasa tanpa diolesi SlNPV).
Kematian pada ulat yang mati karena SlNPV biasanya terjadi pada hari ke 6-10 setelah pemberian pakan + SlNPV) dengan gejala kematian:
1. Terjadi perubahan warna tubuh, badan menjadi lebih besar dan mengkilap.
2. Umenggantung dengan kaki palsu belakang.
3. Tubuh menjadi lunak bila tersentuh akan keluar cairan seperti nanah.
Ulat-ulat yang mati karena SlNPV ini kemudian dilumatkan dan ditaambah air dan disaring, dan cairan ini siap diaplikasikan di lapangan. dan cairan ini bisa disimpan di dalam freezer sampai lima tahun, atau diawetkan dalam bentuk padat yaitu dengan mencampur suspensi dengan talk atau/kaolin.
Aplikasi
Aplikasi dilakukan pada senja hari dengan dosis aplikasi dilapangan diperlukan suspensi sediaan dengan konsentrasi 1.2 X 10 pangkat 8 PIBs/ml sebanyak 500 l/h atau setara dengan 1500 ekor ulat instar 4 yang mati terinveksi SlNPV dengan volume semprot 500 l/ha.
Frekwensi aplikasi (penyemprotan) sebaiknya dilakukan per 4 minggu sekali, tetapi untuk serangan yang berulang sebaiknya dilakukan 1-2 minggu sekali, dengan penyermprotan dilakukan pada pernukaan bawah daun.
Dan ulat yang mati dilahan akibat aplikasi (penyemprotan) ini juga bisa menularkan SlNPV kepada ulat yang lain, bisa juga ulat yang mati ini diambil dan dilumat dan dicampur dengan air dan disemprotkan lagi. diusahakan ulat yang kita ambil adalah ulat instar 4, karena instar yang paling kuat dan merusak adalah instar ke 3 dan 4 dan diharapkan dengan instar ke 4 mati berarti mampu membunuh instar di bawahnya karena instar 1-3 merupakan instar yang rentan terhadap SlNPV.
Ciri ulat grayak pada masing-masing instar yaitu instar
• Instar pertama tubuh larva berwarna hijau kuning agak transparan, panjang 2,00 sampai 2,74 mm dan tubuh berbulu-bulu halus, kepala berwarna hitam dengan lebar 0,2-0,3 mm.
• Instar kedua, tubuh berwarna hijau dengan panjang 3,75-10,00 mm, bulu-bulunya tidak terlihat lagi dan pada ruas abdomen (perut) pertama terdapat garis hitam meningkat pada bagian dorsal (punggung) terdapat garis putih memanjang dari toraks (dada) hingga ujung abdomen, pada toraks terdapat empat buah titik yang berbaris dua-dua.
• Instar ketiga memiliki panjang tubuh 8,0 – 15,0 mm dengan lebar kepala 0,5 – 0,6 mm. Pada bagian kiri dan kanan abdomen (perut) terdapat garis zig-zag berwarna putih dan bulatan hitam sepanjang tubuh.
• Instar keempat , kelima dan keenam agak sulit dibedakan. Untuk panjang tubuh instar ke empat 13-20 mm, instar kelima 25-35 mm dan instar ke enam 35-50 mm. Mulai instar keempat warna bervariasi yaitu hitam, hijau, keputihan, hijau kekuningan atau hijau keunguan. Namun biasanya untuk instar kelima dan keenam (terutama yang ke enam)biasanya ulat cenderung pendiam dan tidak banyak gerak bahkan tidak berpindah tempat. (Ardiansyah, 2007)
Dalam pengaplikasian agens hayati ini sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari, ini dianjurkan karena agens hayati ini adalah mahluk hidup yang lemah dan kemugkinan akan mati bila terkena sinar matahari langsung sebelum beradaptasi secara baik dengan inangnya.
Dan diharapkan apabila agens hayati ini bisa terus berkembang saat pengaplikasian dilahan maka agens hayati tersebut bisa menjaga tanaman yang kita budidayakan dengan menciptakan suasana yang kondusif untuk agens hayati tersebut dan menghilangkan/meminimalisir faktor yang bisa meracuni kehidupan agens tersebut semisal pengaplikasian pestisida.
Sumber : Balai Proteksi tanaman pangan dan Hortikultura (BPTPH) VI Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar